Artikel kedua
Upaya keras dari pemerintah untuk membangun sarana dan fasilitas teknologi informasi dan telekomunikasi di Indonesia bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan interakasi ekonomi-sosial masyarakat dan sektor produksi. Oleh sebab itu pemerintah berupaya keras untuk memperluas jangkauan layanan telekomunikasi sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Instrumen yang digunakan selama ini adalah melalui badan usaha operator telekomunikasi yang melakukan usaha/bisnis layanan telekomunikasi melalui layanan fixed line, seluler, atau satelit. Secara teknis cara ini telah berhasil membuat fasilitas telekomunikasi menjangkau seluruh wilayah geografis Indonesia (dari Sabang sampai Merauke). Namun keterjangkauan teknis-geografis ini tidak membuat sistem telekomunikasi terjangkau bagi masyarakat, yang merupakan sasaran utama. Solusi saat ini masih terlalu mahal bagi sebagian besar calon pelanggan. Akibatnya dari 250 juta penduduk Indonesia, pelanggan telekomunikasi diperkirakan baru mencapai 8 juta orang (3%) untuk fixed line, 30 juta (13%) untuk seluler, serta puluhan ribu (0.04%) untuk satelit. Sekitar 43.000 desa dari 67.000 desa belum terjangkau akses telepon. Oleh sebab itu, pemerintah, melalui Ditjen Postel, mencanangkan program kewajiban pelayanan umum, atau yang lebih dikenal dengan nama program universal service obligation (USO). Program ini dimaksudkan untuk membangun fasilitas dan layanan telekomunikasi bagi segmen masyarakat yang belum sanggup menjangkau layanan yang diselenggarakan badan usaha operator. Meskipun USO adalah initiative pemerintah dalam fungsinya sebagai agen pembangunan dan regulator jaringan, USO tetap merupakan bagian terintegrasi dari system telekomunikasi nasional, dan memberikan layanan yang transparan, serta berkualitas sama dan setara dengan pelanggan non-USO. Selain itu, program USO juga menjadi kepentingan operator dan dibiayai oleh kontribusi operator.
Segala upaya membangun dan memperluas fasilitas telekomunikasi di Indonesia, meskipun bertujuan baik dan perlu didukung, memiliki potensi masalah besar dan mendasar. Usaha pembangunan ini memerlukan investasi yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, di tahun 2003 menurut estimasi Mastel, industri operator Indonesia menghabiskan investasi sebesar Rp. 40 triliun, sedangkan revenue yang diperoleh diperkirakan sekitar Rp. 50 triliun. Proporsi yang investasi yang sangat dominan ini menyebabkan waktu pengembalian modal mencapai sekitar 7 tahun. Hal ini diperburuk dengan persaingan harga yang sangat tajam, sehingga menurunkan kemampuan operator untuk memperpendek waktu pengembalian modal. Dari investasi sebesar ini, industri produk dalam negeri hanya mendapat pangsa pasar kurang dari 1%. Kontribusi industri manufaktur telekomunikasi nasional hanya berkisar 3% dari total belanja nasional infrastruktur telekomunikasi sebesar Rp. 40 trilyun selama periode 2004-2005. Dari total 3% tersebut, yang merupakan produk asli nasional hanya berkisar di angka 0,1% – 0,7% (IDR 1,2 milyar – IDR 8,4 milyar). Dengan kata lain, praktis semua nilai investasi menjadi capital flight yang mempengaruhi balance of payment secara negatif. Akibatnya sebagian besar dana masyarakat yang terkumpul melalui pembayaran pulsa layanan telekomunikasi harus dikirim ke luar negeri sebagai cicilan investasi peralatan tersebut, setidak-tidaknya selama tujuh tahun. Hal ini diperparah oleh maraknya pembelian terminal seluler yang murni produk asing oleh konsumen Indonesia. Akibat dari situasi ini, janji pertumbuhan ekonomi akibat perluasan fasilitas telekomunikasi tidak terjadi secara optimal di Indonesia. Efek multiplier dari investasi terhadap ekonomi lokal tidak terjadi. Sebaliknya setiap penambahan satuan sambungan terpasang (sst) di Indonesia berarti memperluas mekanisme penyedotan dana masyarakat untuk dikirim ke luar negeri. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan di-offset oleh impak negatif ini. Jalan keluar dari dilema antara perlunya perluasan fasilitas telekomunikasi dengan perlunya menghentikan mekanisme kontraksi ekonomi masyarakat akibat penggunaan layanan telekomunikasi adalah dengan membangkitkan industri telekomunikasi nasional. Industri peralatan telekomunikasi nasional adalah instrumen Indonesia untuk dapat tetap memperluas jangkauan fasilitas telekomunikasi dan menikmati multiplier effect dari investasi tersebut. Bagi sektor yang menghabiskan investasi Rp 40 triliun setahun untuk memperoleh revenue Rp 50 triliun, impak intervensi dari industri nasional terhadap ekonomi nasional sangat luas dan fenomenal. Kehadiran industri peralatan nasional dalam kebijakan pembangunan sektor telekomunikasi ditengarai memiliki impak umpan balik positif pada upaya memperluas daya jangkau layanan telekomunikasi bagi masyarakat. Dana investasi yang berputar di dalam negeri membuka lapangan kerja di dalam negeri, yang pada gilirannya menumbuhkan konsumen bagi operator telekomunikasi. Operator yang memiliki pelanggan yang semakin bertambah akan mampu menurunkan harga berkat keuntungan economy-of-scale (increasing return to scale). Dengan harga semakin terjangkau, semakin banyak masyarakat yang menjadi pelanggan. Beberapa data dari negara maju mendukung hipotesa ini. Rumah tangga di Jepang dapat membeli layanan Internet 100 Mbps pada Yahoo!BB dengan biaya Rp 300 ribu per bulan, sedangkan ITB harus membayar PT Telkom Rp. 8 juta perbulan untuk 128 kbps. Turunnya biaya Internet ini sangat membantu upaya mengatasi digital divide. Program USO perlu dikembangkan dalam kerangka pikiran yang sama. Terlebih lagi, data yang ada menunjukkan investasi per sst di daerah pedesaan jauh lebih mahal dibandingkan biaya di daerah perkotaan. Harus dicegah sejak dini sekenario perluasan mekanisme penyedotan dana masyarakat desa untuk dikirim ke luar negeri. Dengan kata lain, program USO seharusnya sepenuhnya merupakan peluang bagi industri peralatan dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar