Test

terima kasih telah mengunjungi blog saya

Rabu, 09 Juni 2010

40 Tahun yang Mengubah Pantai Jakarta

Reklamasi pantai Utara Jakarta sudah dimulai sejak dekade 1970-an. Selama empat dekade, wajah pantai berubah dengan pembangunan fisik yang mempoles pantura Jakarta. Namun, ekosistem hutan bakau menyusut dan terus menyusut.

Kawasan Ancol, Jakarta Utara terus bersolek diri. Sejumlah bangunan properti dengan harga selangit mulai terlihat berjejalan di pinggiran pantai Teluk Jakarta. Dua menara yang terlihat mencolok adalah apartemen Ancol Mansion yang teretak tepat di sisi pantai.

Pembangunan properti berdiri di atas lahan reklamasi yang dilakukan sejak 2003, lalu. Selama 7 tahun berjalan, setidaknya sudah sekitar 200 hektar permukaan laut yang disulap menjadi daratan. Perubahan wajah Ancol sebenarnya sudah terjadi sejak 1972. Namun geliatnya tidak secepat pasca reformasi.

"Saya tahu persis perkembangan di Wilayah Ancol. Sebab saya lahir dan besar di sini sejak 40 tahunan lalu," kata Arifin warga RT 06/RW 01, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara saat ditemui detikcom, Rabu (9/6/2010).

Dijelaskan Arifin, geliat pembangunan di kawasan itu mulai berjalan sejak 1972. Saat itu, tiga pabrik besar berdiri di kawasan Ancol, yakni pabrik cat Nippon Paint, Asahimas, pabrik makanan ternak Charoen Pokphand Indonesia, dan ditambah pula pabrik pengulitan udang. Pendirian pabrik pun diikuti dengan perubahan kondisi.

"Mulai banyak asap pabrik, ada limbah juga dan air bersih mulai langka," jelas Arifin.

Pembangunan tidak berhenti di situ. Setelah pabrik-pabrik berdiri, Pemprov DKI Jakarta kemudian menggulirkan sebuah gagasan untuk mereklamasi pantai di kawasan tersebut. Gagasan itu sebenarnya sudah muncul sejak 1985. Lalu pemerintah mengeluarkan Keppres No 52 Tahun 1995. Berbekal Keppres itu PT Pembangunan Jaya Ancol akhirnya melakukan reklamasi untuk memperluas kawasan Ancol, sejak 1998 silam. Awalnya yang dibangun adalah pantai Ancol timur, namun pengurugan ludes digerus ombak. Reklamasi lalu berlanjut ke pantai Ancol Barat.

Sementara aktivis Indonesia Hijau, Slamet Daryoni mengatakan, reklamasi pantura Jakarta mengambil tanah urugan dari Parung Panjang dan Jonggol. Padahal kedua tempat tersebut, dalam ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010 Pemda DKI Jakarta merupakan kawasan konservasi air bersih bagi warga DKI Jakarta.

Bahan urug dari laut juga rencananya akan diambil dari Kepulauan Seribu antara lain, Tanjung Burung, Pulau Burung, dan beberapa pulau lain. Sementara bahan urug dari luar Jakarta akan diambil dari pantai utara Banten, pantai barat Jabar dan pantai utara Jawa Barat bagian timur dan pasir bekas letusan Gunung Krakatau.

"Ini sangat disayangkan. Sebab dearah-daerah tersebut merupakan kawasan konservasi dan kawasan pariwisata. Apalagi ekosistem laut merupakan sumber penghidupan dan kehidupan masyarakat sekitar," jelas Daryoni kepada detikcom.

Jadi, tambah Daryoni, kegiatan reklamasi bukan hanya menimbulkan masalah bagi wilayah yang direklamasi saja. Tapi sejumlah kawasan yang diambil pasir atau tanahnya juga akan mengalami kerugian. Sementara para nelayan tergusur dari wilayahnya karena hutan bakau yang menyimpan banyak ikan, sudah berganti menjadi urugan pasir. Padahal hutan bakau berperan sebagai tempat bertelur ikan, habitat ikan-ikan kecil (nursery), dan penangkal abrasi. Tercipta daratan baru lewat reklamasi, namun pantai menjadi tandus dan rentan terhadap ombak.

Memang perlu sebuah kebijakan yang tepat. Pembangunan memang kerap mengorbankan lingkungan dan orang-orang kecil yang hanya dianggap penghalang. Potensi-potensi ekonomi memang perlu digali, namun jangan sampai menghasilkan bom waktu yang bernama bencana lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar